Jumat, 03 Juli 2009

Teror Islam di Tanah Batak



Teror Islam di Tanah Batak

Oleh : Batara R. Hutagalung

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di
Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata
Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah
ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat
dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya,
sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera
Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada
misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat
di India hingga sekarang.

Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa
oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya
beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya
di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama,
yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan
kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu
disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung
dari tahun 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya
berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah
Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian mengIslamkan
Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat
dengan tindakan yang sangat kejam.

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama
asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama
yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha.
Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra
Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581
Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat
sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari
Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak
mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum
Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.

Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga
Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest
(hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering
melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga
konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua,
kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap
pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang
jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya,
peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba
Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi
Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya
mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan
dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju
tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan
Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak
diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak
buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing
yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda.
Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga
Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang
diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan
mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua
dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819,
ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di
bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala
Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan
ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX
adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana
Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun
terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi
dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin
diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama
marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari
jalan keluar untuk masalah ini.

Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela,
yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu
upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual" kepada Jongga
Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datuk (tokoh
spiritual) yang dipimpin oleh Datuk Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya,
Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati
atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya
dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan
satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datuk,
karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana
Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Rao yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan
kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari
tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu, Rao berhasil mencapai sungai
Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang
nelayan, Lintong Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Rao
memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari
akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja
Batak.

Di Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai
perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali,
yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari
Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau,
yang menganut aliran Syi'ah.

Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri
Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh,
yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali,
termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo,
mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Rao. Ia memperhitungkan,
bahwa Rao yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di
dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk
digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh
karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Rao
kepadanya untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan
dan Syahadat, Rao diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan
Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam,
Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila
dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga
Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut.
Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh
pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris
Nasution.

Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya
adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke
Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis
dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya
kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan
Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran
pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat
menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata
Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda,
yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M),
dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh
Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri
meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai
tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan
disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan
penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan
oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang
adalah putra-putra Batak sendiri.

Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam,
ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai
(Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis),
Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang),
Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman
(Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan
(Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan
tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh
Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah
Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan
Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.

Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang
tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar
dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan
dengan menggunakan pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X
ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang
marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja
X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi
tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan
putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap
Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat
lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua
perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya
penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara
Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar
30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan
petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.
Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud
menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga
rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun
Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya
tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.

Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan
pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan
sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing,
Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan
Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari
Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai
gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar
tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan
Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan.
Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger
Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar
dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku
Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan
kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan
mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan
Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam
pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo
(Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya
dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan
selirnya.

----------------

Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja
Onggang Parlindungan Siregar, "Pongkinangolngolan Sinambela gelar
Pongkinangolngolan, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak",
Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang
Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar,
seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah
catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar,
Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman. Sebenarnya ia hanya
bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak
rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo
tersebut.

Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut
banyak mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda
Batak. Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk
publik. Parlindungan Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH
dan dr. Wiliater Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap
naskah buku tersebut.

HORAS !!

=======================================================

Mungkin dapat ditambahkan lagi sedikit sinopsis dari buku Tuanku
Rao karangan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan ini.

Buku ini tidak hanya membahas Tuanku Rao, seorang juru dakwah yang
mengembangkan Islam di Sumatera Tengah pada pertengahan abad ke-19
serta cerita legenda peperangan para pahlawan di Sumatera Tengah
masa lampau dan patriotisme Batak Muslim, tetapi juga ada bab yang
penting bagi sejarah orang Tionghoa di Jawa khususnya.

Pada halaman 650-672 didalam buku ini ada lampiran XXXI yang
berjudul: "Peranan orang-orang Tionghoa/Islam/Hanafi didalam
perkembangan Islam dipulau Jawa 1411-1564". Lampiran ini merupakan
singkatan dari hasil penyelidikan residen Poortman mengenai naskah
Kelenteng Sam Po Kong yang disitanya.

Parlindungan mendapatkan akses untuk membaca arsip Poortman ini
(arsip kelenteng Sam Po Kong) ketika ia sedang belajar di negeri
Belanda. Di jaman kolonial, arsip dari kelenteng Semarang itu
dikategorikan sebagai arsip sangat rahasia (Zeer Geheim), yang
mungkin dianggap dapat membahayakan politik pemerintah
Belanda "devide et impera" ketika itu.

Residen Poortman di tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk
menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Tionghoa atau bukan, dan
pada penumpasan pemberontakkan Komunis tahun 1926-1927 Poortman
menggunakan kesempatan itu untuk menggeledah kelenteng Sam Po Kong
di Semarang pada tahun 1928 dan kemudian menyita banyak naskah
berbahasa Tionghoa yang sebagian sudah berumur 400 tahun umurnya
serta dimuati kedalam 3 gerobak. (naskah aslinya yang disimpan di
Belanda sampai sekarang masih tidak diketahui keberadaannya).

Arsip kelenteng Sam Po Kong ini memuat catatan tentang Raden Patah ,
Wali Songo dan tokoh Tionghoa Islam lainnya di abad 15-16. Arsip
Poortman ini menjadi bahan perdebatan yang kontroversial antara ahli
sejarah mengenai otentitas dan keaslian sumbernya serta kerancuan
antara mitos dan realitas.

Buku Tuanku Rao ini, yang beberapa halamannya melampirkan arsip
kelenteng Sam Po Kong dari Poortman itu menjadi acuan Prof. Slamet
Muljana (selain Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi) dalam penulisan
bukunya yang berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa Dan Timbulnya
Negara-Negara Islam Di Nusantara" pada tahun 1968.

Buku Prof. Slamet ini kemudian dilarang oleh Kejaksaan Agung tahun
1971, karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu
dengan menyebutkan bahwa sebagian Wali Songo berasal dari etnis
Tionghoa.

Selain itu juga memunculkan sebuah pandangan baru yang sensitif
tentang teori penyebaran Islam di Indonesia. Pandangan pertama
mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia berasal dari
Hadramaut, Yemen. Pandangan kedua mengatakan bahwa peyebarannya
berasal dari Gujarat, India.

Mengenai pandangan baru atau ketiga ini telah terbit sebuah buku
yang membahasnya juga dengan judul "ARUS CINA-ISLAM –JAWA"
(2003)
dikarang oleh Sumanto Al Qurtuby.

Arsip Kelenteng Sam Po Kong dari buku Tuanku Rao ini juga dibahas,
diberikan komentar dan diinterpretasi kembali oleh ahli sejarah
berkebangsaan Belanda, H.J. De Graaf & TH. Pigeaud didalam bukunya
yang berjudul "CHINESE MUSLIMS IN JAVA in the 15th and 16th
centuries" (1984). Buku ini juga telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia dengan judul "CINA MUSLIM di Jawa Abad XV dan XVI (1998,
2004).

Sebelumnya arsip Poortman ini belum diperhatikan atau dianggap
serius oleh mereka berdua dalam bukunya yang berjudul "KERAJAAN
ISLAM PERTAMA DI JAWA' (De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java,
Studien Over de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en 16 de Eeuw,
1974). Baru pada buku terakhir yang ditulisnya (Chinese Muslim in
Java) mereka dengan serius berusaha menginterpretasikannya kembali.

Menurut De Graff dan Pigeaud, dokumen Sam Po Kong yang ditulis
dalam buku Tuanku Rao itu tidak dapat dikesampingkan begitu saja
sebagai catatan sejarah, walaupun keaslian sumbernya masih
diperdebatkan. Kesimpulan ini mereka dapati setelah melakukan
analisa perbandingan dengan buku-buku sejarah lainnya masa lalu.

Sebenarnya dengan menulis buku Chinese Muslim in Java ini, De Graaf
dan Pigeaud secara implisit telah mengakui otentisitas sejarah
naskah Kelenteng Sam Po Kong itu.

Salam

Mazhab Hambali di Tanah Batak

( sinopsis buku TUANKU RAO )

=========================================================

1 komentar: